Tuesday, 28 May 2013

SEJARAH MUSHAF AL-QUR’AN

 Al-Qur’an merupakan kitab yang berisi risalah-risalah bagi umat manusia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an sangatlah urgen dalam agama islam, karena Al-Qur’an adalah firman Allah SWT, dan juga merupakan sumber hukum islam yang pertama. Al-Qur’an merupakan kompilasi dari ayat-ayat dan surat-surat yang mana memiliki nilai I’jaz yang tinggi. Dan dalam sejarah mushaf Al-Qur’an terdapat berbagai macam kisah di dalamnya.
Dengan perjuangan para sahabat dalam kodifikasi Al-Qur’an, di awali dengan pelbagai gejolak dalam diri sahabat untuk mengumpulkan firman Allah yang tidak ada pada zaman Nabi, Sampai-sampai zaid bin Tsabit memilih memindahkan gunung raksasa dari pada merangkum Al-Qur’an.
Karena jasa para sahabatlah umat muslim saat ini dapat memperoleh Al-qur’an seutuhnya. Kami akan mencoba membahas tentang sejarah mushaf- Al-Qur’an yang mana banyak orang yang belum mengetahuinya.
B.       Rumusan Masalah
a)      Bagaimanakah Al-qur’an pada masa Rasulullah?
b)     Bagaimanakah Al-qur’an pada masa Abu Bakr dan Umar?
c)      Bagaimanakah Al-qur’an pada masa utsman?
d)     Bagaimanakah susunan ayat dan suarat dalam Al-Qur’an?
 C.      Pembahasan
1.    Al-Qur’an pada Masa Rasulullah
Pada periode ini terdapat lebih kurang enam puluh lima sahabat yang ditugasi oleh Nabi Muhammad bertindak sebagai pencatat wahyu. Di antaranya adalah Abban Bin Sa’id, Abu Bakr as-Siddiq, Ubayy Bin Ka’b, Ja’far Bin Abi Thalib, Zubair Bin Arqam, Zaid Bin Tsabit, Shurahbil Bin Hasna, Muawiyyah, Abdullah Bin Abdullah, Muhammad Bin Maslama, Mu’aqib Bin Mughira, Yazid Bin Abi Sufyan dan lain-lain. Saat wahyu turun Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu. Zaid bin tsabit meceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, ia seringkali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun. Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi Muhammad memanggil zaid bin tsabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; ‘amr bin um-maktum al-a’ma duduk menanyakan kepada nabi Muhammad, “bagaimana tentang saya? Karena saya sebagai orang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghairu uli al-darar” (bagi orang-orang yang bukan cacat). Saat tugas penulisan selesai, zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.
Sebagian sahabat juga menulis Al-Qur’an karena inisiatif sendiri pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang. Zaid Bin Tsabit berkata: “kami menyusun Al-Qur’an di hadapan pada rasulullah pada kulit binatang.”
Praktik yang biasa berlaku di kalangan sahabat tentang penulisan Al-Qur’an, menyebabkan Nabi Muhammad melarang orang-orang menulis sesuatu darinya kecuali Al-Qur’an, “dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka ia harus menghapusnya.” Beliau ingin Al-Qur’an dan hadits tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk dan kekeliruan. Berdasarkan kebiasaan nabi memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada masa kehidupan beliau seluruh al-qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
Tulisan-tulisan pada nabi tidak terkumpul pada satu mushaf. Biasanya terdapat pada para sahabat dan yang dimiliki oleh seorang sahabat belum tentu dimiliki oleh sahabat yang lain. Al-Qur’an telah di hafal dan ditulis dalam mushaf tapi masih dalam bentuk ayat-ayat dan surat-surat dipisahkan, setiap surat berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Karena di saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk membukukannya dalam satu mushaf, sebab nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu, di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasakh ayat yang sebelumnya. Zaid bin tsabit berkata:
قبض النبي ص م ولم يكن القران جمع في شيء
“ٍٍٍSaat nabi Muhammad wafat, Al-qu’an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku”
Disini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan’ bukan ‘penulisan’. Dalam komentarnya, Al-Khattibi menyebut, ”catatan ini member isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, kitab Al-Qur’an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga belum tersusun.”
2.    Al-Qur’an pada Masa Abu Bakr dan Umar
Pada awalnya Al-Qur’an ditulis pada kulit binatang dan alat tulis lainnya, tapi barang tersebut masih berserakan dan mudah hilang. Ditambah lagi pada saat peperangan yamamah (perang memerangi orang-orang murtad) pada tahun dua belas hijriah sebanyak tujuh puluh qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakr dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan al-qur’an karena khawatir akan musnah. Sebab peperangan yamamah telah banyak menggugurkan para qori’.
Di sisi lain Umar merasa khawatir juga jikalau peperangan di tempat lain akan membunuh banyak qari’ pula sehingga al-qur’an akan hilang dan musanah. Akan tetapi Abu Bakr menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh rasulullah. Namun umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakr untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakr memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam berbagai aspek seperti masalah qira’at, hafalan, penulisan, pemahaman, kecerdasan, serta kehadiarannya pada pembacaan terakhir. Pada awalnya Zaid menolaknya, akhiranya setelah terjadi jejak pendapat yang cukup panjang, akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Al-Qur’an tersebut. Maka mulailah Zaid mengumpulkan Al-Qur’an. Dikumpulkannya dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hafalan para penghafal. Pada suatu saat zaid mendapatkan akhir surat al bara’ah berada pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak ia dapatkan dari orang lain. Zaid bertindak sangat teliti dan sangat hati-hati. Baginya tidak cukup hanya bergantung pada hafalan semata tanpa disertai tulisan. Jadi, ayat akhir surat al-bara’ah tersebut telah dihafal oleh banyak sahabat dan mereka menyaksikan ayat itu dicatat. Tetapi hanya catatannya hanya terdapat pada abu Khuzaimah Al-Anshari.
Ibnu Abi Dawud berkata: ”Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Al-Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan dua saksi yaitu hafalan dan catatan. Ada sebagian pendapat yang menyebut kumpulan ini dengan suhuf karena ukurang kepingan-kepingan kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an tidak sama sehingga menjadikan tumpuk-tumpukan kertas itu tidak tersusun dengan rapi. Sedangkan pendapat yang lain menyebut kompilasi ini denga mushaf, karena ali yang berkata: “orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan ‘mushaf’ ialah Abu Bakr. Semoga allah melimpahkan rahmatNya kepada Abu Bakr. Kemudian lembaran-lembaran ini disimpan Abu Bakr. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijriyah, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke tangan Hafshah binti Umar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan Al-Qu’an.” Periode ini disebut dengan jam’u Al-Qur’an ats-tsani.
3.    Al-Qur’an pada Masa Utsman
Pengumpulan al qur’an pada masa utsman di latar belakangi dengan perbedaan di kalangan umat islam dalam membaca (qira’at) al qur’an. Adanya perbedaan dalam bacaan al qur’an sebenarnya bukan hal baru sebab Umar sudah mengantisipasi bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibn Mas’ud ke irak, setelah Umar di beritahukan bahwa dia mengajarkan al-qur’an dalam dialek Hudhail(sebagaimana Ibn Mas’ud mempelajarinya), dan Umar pun naik pitam lalu berkata “Al-Qur’an telah di turunkan dalam dialek quraish, maka ajarkanlah menggunakan dialek quraish, bukan menggunakan dialek Hudhail.
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijan dari penduduk irak, termasuk Hudzaifah bin Al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan, masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan demikian, Hudzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Utsman juga berpendapat demikian bahwa sebagian perbedaan itu pun terjadi pada orang orang yang mengerjakan qira’at kepada anak anak. Lalu anak anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qira’at. Para sahabat amat memperhatikan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran lembaran itu dengan bacaan bacaan baku pada satu huruf.
Utsman kemudiaan mengirim utusan kepada Hafshah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari, Abdullah bin Az Zubair, Said bin Al-ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam (tiga orang qurasy). Lalu ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang qurasy itu, hendaklah ditulis dalam bahasa quraisy, karena Al qur’an turun dalam bahasa mereka.
Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembran itu kepada Hafshah. Selanjutnya, Utsman mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al qur’an atau mushaf lainnya (sebelum disalin) di bakar. Banyak pertanyaan yang muncul dari sikap Utsman tersebut. Alasannya ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan “panitia empat” itu tetap beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Al-Qur’an karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Disana terdapat juga beberapa kalimat  yang merupakan tafsiran, dan bukan Kalam Allah
Kemudian Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredaradalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut,
a)         Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b)         Mengabaikan ayat yang bacaannya di-naskh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat saat terakhir.
c)         Susunan surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman.
d)        System penulisan yang digunakan Mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz lafadz Al-Qur’an ketika turun.
e)          Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.
Untuk pendistribusian mushaf usmani menurut beberapa laporan ada empat: Kufah, Basra, dan Suriah, yang satu lagi disimpan di Madinah; Riwayat lain menambahkan Mekah, Yaman, dan Bahrain. Ad-Dani lebih cenderung menerima riwayat yang pertama.
4.    Perbedaan antara Al-Qur’an di Masa Abu Bakar dan Utsman
Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan Al-Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, pelepah kurma, dan sebagainya, kemudian dikumpulkan dengan ayat ayat dan surat-suratnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al-Qur’an itu di turunkan.
Sedangkan pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Utsman lebih menitikberatkan pada penyalinan kembali mushaf Abu Bakar yang asalnya tujuh huruf menjadi satu huruf. Dan juga banyaknya perbedaan dalam membaca mushaf tersebut dengan dialek mereka masing masing , dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Maka Utsman segera memerintahkan untuk menyalin lembaran-lembaran itu kedalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surat-suratnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka. Hal tersebut untuk mencegah perpecahan diantara kaum muslimin.
5.    Susunan Al-Qur’an
a)    Susunan Ayat
Ketetapan rincian ayat-ayat dan penempatan ayat-ayat pada tempatnya berdasarkan taufiqi. Seperti Al-Kalbi melaporkan dari Abu Sufyan tentang Ibnu Abbas tentang ayat;

“dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan pada Allah.”
Ia menjelaskan, “ini adalah ayat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Malaikat Jibril turun dan minta meletakannya setelah ayat ke dua ratus delapan puluh dalam Surah Al-Baqarah.”
b)   Susunan Surah
1)         Ada yang berpendapat bahwa susunan surah itu taufiqi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Malikat Jibril kepadanya atas perintah Allah
2)         Kelompok dua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan iqra’ kemudian Al-Mudatsir lalu Nun, Al-Qolam, kemudian Al-Muzamil dan seterusnya. Al-Baqillani cenderung pada pendapat ini.
3)         Kelompok ketiga berpendapat sebagian surat itu tertibnya bersifat taufiqi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukan tertib as-sab’u, ath-thiwal, al-hawamin, dan al-mufashshal pada masa hidup Rasulullah. Ibn ‘atiyya mendukung pendapat ini.

TAHLILAN MENURUT HUKUM ISLAM...

TAHLILAH APAKAH DILARANG....? R itual tahlilan merupakan hal yang diada-adakan, yang sama sekali tidak ada dasar dan ketentuannya dal...